Setidaknya ada dua macam penetrasi kristen ke dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan alkitab ke dalam bahasa Jawa dan pemakaian kebudayaan Jawa ke dalam praktik kekristenan. Penerjemahan Alkitab ke bahasa Jawa dilakukan oleh Johannes Emde di tahun 1811. Emde adalah seorang Kristen Jerman yang tinggal di Surabaya dan mengawini seorang perempuan Jawa. Johanes Emde kemudian membangun kongegrasinya di Surabaya yang kemudian dikenal dengan nama “Keshalehan Surabaya”.
Efektifitas penerjemahan Alkitab ini terlihat dari hasil wawancara Ali Humaedi, M.Ag. dengan keturunan pengikut Kyai Sadrach.“kami tidak mengerti apa-apa tentang adat istiadat agama Islam, tetapi sekarang kami menyadari apa yang kami lakukan, dan kami mengucapkan doa-doa yang kami hayati dalam hati sedalam-dalamnya”. Orang lainpun berkata: “al-Qur’an itu tidak kami pahami, sekarang kami pahami, sekarang kami sedikit-dikitnya memiliki suatu Kitab Suci yang kami dapat baca sendiri”. Agama Islam itu dapat saja memenuhi kebutuhan bangsa yang mengerti bahasa al-Qur’an itu, akan tetapi kami lebih menghargai al-Kitab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa kami sendiri”.
Sedangkan tokoh yang berperan signifikan dalam perkembangan inkulturasi budaya Jawa dengan Kekristenan adalah Coenraad Laurens Colen.Coenraad Laurens Coolen, Bapaknya yang asal Rusia bermigrasi ke Indonesia sebagai prajurit upahan VOC. Ibunya adalah seorang perempuan Jawa dari keturunan bangsawan. Dari bapaknya Coolen mewarisi nilai-nilai agama Kristen Barat, sedangkan dari ibunya dia mewarisi ruh mistik dan kebudayaan Jawa. …. Dia mendakwahkan kepada kelompoknya bahwa untuk menjadi orang kristen, mereka tidak harus meninggalkan watak dan kebudayaan Jawa mereka. Karena itu Coolen tidak mengizinkan seorangpun dari mereka untuk dibaptis. Dalam upaya untuk men Jawa kan agama Kristen dalam bentuk dan karakternya, Coolen memanfaatkan wayang untuk menceritakan kisah-kisah alkitab dan menyampaikan pesan-pesannya.
Akibat penekanan Coolen kepada kebudayaan Jawa, beberapa komunitas kristen yang dipimpin para penginjil Jawa bermunculan. Diantara orang-orang kristen Jawa itu adalah Singotruno, Paulus Tosari, Matius Niep dan yang paling berpengaruh adalah Sadrach. Konsep Coolen dan para pengikutnya inilah yang belakangan berkembang dan disebut inkulturasi (inculturation).
Meskipun inkulturasi berkembang dalam tradisi kristen akan tetapi karena watak puritan kristen menyebabkan inkulturasi tidak berkembang dalam agama kristen. Para missionaris Eropa yang diwakili Frans Lion Cachet (1835-1899) sangat menentang inkulturasi versi Sadrach. Misi harus memisahkan diri dari Sadrach si pembohong, yang meracuni bidang misi kita sepenuhnya dan melahirkan sebuah agama Kristen Jawa yang sama sekali tidak memberikan tempat bagi Kristus
Dalam perkembangan selanjutnya gereja Katholik secara khusus mengadopsi konsep inkulturasi ini, lebih-lebih setelah adanya konsili Vatikan II. Dalam hal ini Bernhard Meyer SJ, mengemukakan :Konsili Vatikan II secara umum mengungkapkan penghargaan tinggi untuk karya seni dan para seniman, khususnya kesenian sakral. Ditekankan bahwa kesenian jaman sekarang dan budaya para bangsa hendaknya diakui dan hendaknya mendapat tempat dalam liturgi. Juga kesenian jaman sekarang, pun kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya diberi keleluasaan dalam gereja, asal dengan khidmat dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan ritus-ritus.
Menurut J.B. Banawiratma, istilah inkulturasi berasal dari lingkungan katholik Roma. Dokumen resmi pertama yang menggunakan istilah ini adalah “Message ton the People of God” dari Sinode Para Uskup di Roma pada tahun 1977. Pada kesempatan itu, “Pedro Arrupe, Pemimpin Umum Sarikat Jesus (SJ) ketika itu, berbicara tentang katekisasi dan inkulturasi. Beberapa pengertian tentang inkulturasi telah banyak dirumuskan oleh para pakar, diantaranya A. Roest Crollius SJ yang merumuskan inkulturasi sebagai berikut :Inkulturasi gereja adalah integrasi pengalaman kristen sebuah gereja lokal ke dalam kebuadayaan bangsa tertentu sedemikian rupa sehingga pengalaman itu tidak hanya mengungkapkan dirinya dalam elemen-elemen kebudayaan bangsa itu, melainkan menjadi kekuatan atau daya yang menjiwai, mengarahkan dan membaharui kebudayaan itu, dan dengan itu menciptakan satu persekutuan baru bukan saja dalam kebudayaan tertentu melainkan juga sumbangan untuk gereja universal.
Pada tahun 1925 musik Jawa pertama kali masuk dalam gereja-gereja sebagai lagu gereja. Perintis masuknya lagu gereja dengan gamelan Jawa adalah C. Hardjosoebrata, dengan karangannya antara lain “Atur Roncen”, “Sri Yesus Mustikeng Manis” dan “O Kawula Punika”.
Saat ini inkulturasi sudah menjadi denyut nadi utama dalam agama Katholik di Jawa. Beberapa praktik inkulturasi tersebut antara lain :
· Gereja Katholik Ganjuran Yogyakarta dan Gereja Katholik “San Inigo” Dirjodipuran Surakarta dalam perayaan ekaristinya menggunakan bahasa Jawa. Mulai dari do’a, bacaan Injil, homili atau khotbah sampai do’a Syukur Agung.
· Gereja Purbawardayan merupakan salah satu paroki di Kevikepan Surakarta yang sering menyelenggarakan perayaan Natal dengan mengadakan pentas sendratari kelahiran Yesus. Bahkan pada tahun 1998 mengadakan pementasan Kethoprak.
· Sendang Sono sebagai tempat ziarah untuk berdevosi kepada Bunda Maria, pada mulanya adalah tempat orang-orang Jawa dahulu bersemedi, untuk membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup mereka.
· Dalam Pesta Intan Gereja Katholik Ganjuran tanggal 27 Juni 1999, diadakan upacara adat Jawa “Gunungan” dimasukkan dalam upacara gereja, yaitu setelah prosesi sakramen Maha Kudus. Selanjutnya gunungan yang berisi hasil bumi dibagikan kepada ummat, agar mendapat berkah yang berlimpah dari Sang Maha Pencipta.
Dari paparan di atas maka proses inkulturasi bukan sekedar peristiwa budaya, lebih tepat ia adalah peristiwa keagamaan. Dalam hal ini kita tidak dapat memisahkan inkulturasi dengan evangelisasiatau pewartaan injil dalam gereja. Inkulturasi merupakan salah satu segi yang tidak terpisahkan dari evangelisasi. Tujuan evangelisasi adalah untuk menghadirkan Injil dalam kehidupan harian sebagai bukti kehadiran Kristus dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan amanat dari Paus Yohannes Paulus II :
Kristus dan gereja tidak boleh asing dari suku, bangsa atau kebudayaan manapun. Pesan Kristus teruntuk semua kepada semua orang. … dimana saja ia berada. Gereja harus menanamkan akarnya dalam-dalalm ke dalam tanah rohani dan budaya setiap negeri.
0 comments:
Posting Komentar